Belum Ada

Wah sudah empat tahun lebih sejak tulisan terakhir di blog. Segera disergap bingung, mengingat lagi bagaimana semesta blog bekerja. Padahal ya tidak perlu risau mau menuliskan apa, toh tidak ada yang akan membaca.

Jadi bagaimana ini? Katanya menjadikan blog catatan kejadian supaya nanti bisa dibaca anak dan cucu untuk mengenal orang tuanya, mau cerita apa kali ini?

Belum ada? Yaksip, publish dulu saja dan kembali nanti.

Sarjana Pertama

Bagaimana rasanya jadi seorang ibu yang selama puluhan tahun berjuang merawat sembilan anaknya dengan segala keterbatasan yang dia miliki sebagai seorang wanita dari desa pinggiran yang hanya tamat sekolah dasar melihat salah satu anaknya berhasil menjadi wisuda?

Pagi itu sepeda motor yang kukendarai membelah udara dingin di jalanan BSD. Udara terlalu dingin untuk bisa membuka obrolan dengan penumpang di belakang, ibuku. Tapi udara dingin bukan satu-satunya penyebab kami tidak mengobrol. Kepala kami sibuk dengan pikiran masing-masing meski dengan tema yang sama yaitu acara wisuda sebuah kampus di Tangerang Selatan. Kami dalam perjalanan menuju acara itu.

Ini acara paling istimewa dalam dunia akademisi yang terjadi pada keluarga kami karena meski  ibu memiliki  sembilan orang anak –dua diantaranya meninggal- ini adalah acara wisuda pertama yang kami alami. Artinya hanya ada satu orang anak yang berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan sampai bangku kuliahan. Bukan sekedar kuliah, tapi sampai selesai kuliah. Meski hanya strata satu.

Bagi keluarga kalian mungkin kuliah bukan sesuatu yang istimewa tapi bagi kami, kuliah seperti separuh mimpi. Dalam daftar kebutuhan, kuliah harus berkompromi dengan prioritas lain dan mungkin hanya menempati posisi nomor dua belas. Bukan karena tidak penting, tapi karena faktor ketiadaan biaya. Sudah  menjadi cita-cita dan mengawang-awang di pikiran sejak masa sekolah menengah pertama tapi kami menyadari kalau akan sangat sulit untuk diraih.

Tahun 1996 silam bapak meninggal karena sakit, membuat ibu lintang pukang merawat semua anaknya. Dulu ibu pernah bilang cita-citanya buat anak-anaknya dalam pendidikan hanya satu, membuat kami lulus SMA bagaimanapun caranya. Maka dia kemudian menjahit, berjualan keramik, membuat warung kecil, mencoba berternak ayam negeri, menjadi tenaga kerja ke Kuwait dan Arab Saudi, sampai menikah lagi dengan lelaki yang dirasa mampu membantunya.

Anak-anaknya dititipkan ke saudara jauh di Rangkasbitung, dititipkan ke yayasan anak yatim di Jakarta dan ada pula yang dimasukan ke pesantren di Bogor dan Tasikmalaya.

Kami paham sedari kecil kondisi ini. Kami tahu posisi dan keadaan ekonomi kami. Maka lulus dari SMA adalah fase terakhir kami bergantung ke orang tua untuk membiayai kami. Mau kuliah? Cari biaya sendiri. Meski kemudian cita-cita itu menguap seiring waktu.

Kakakku yang pertama mungkin tidak punya keinginan kuliah. Toh meneruskan usaha mendiang bapak membuatnya memiliki penghasilan yang jauh lebih besar dibandingkan para sarjana. Kakakku yang kedua pada suatu masa, mungkin menjelang kelulusan SMA selalu berkata bahwa dirinya akan masuk Trisakti dengan penuh percaya diri. Diucapkan separuh bercanda tapi sekaligus pengharapan yang kemudian akhirnya kandas dihantam realitas.

Kakakku yang ketiga –perempuan satu-satunya- menikah dan sibuk mengurusi keluarga. Tak ada yang lebih penting dari itu, apalagi sekedar keinginan untuk berkuliah. Mungkin ada di nomor 32 daftar prioritas, dibawah keinginan memiliki treadmill.

Anak keempat  yaitu aku hanya menjadi bukti kalau title sarjana hanya bagi mereka yang serius. Menghabiskan delapan semester di dua kampus dan jurusan berbeda hanya untuk gagal karena dua kenyataan yang ditemukan di dunia perkuliahan. Pertama, dosen dan mahasiswa terlalu mengagungkan angka dan teori kaku sebagai indkator kecerdasan. Kedua, pikirannya selama di perkuliahan penuh dengan angka-angka yang harus dibayar setiap bulan untuk kebutuhan keluarga kecilnya sementara gaji kecilnya sudah tidak mampu lagi diperas untuk membayar kuliah.

Anak kelima memilih untuk fokus mencari uang demi membantu ibu.

Anak keenam adalah anak yang acara wisudanya akan kami hadiri. Satu-satunya anak yang tidak merokok dan tidak bisa mengendarai sepeda. Apalagi sepeda motor.

Kupandangi ibu yang pandangannya menunduk ke arah para wisudawan di bawah sana. Jadi bagaimana rasanya jadi seorang ibu yang selama puluhan tahun berjuang merawat seluruh anak dengan segala keterbatasan yang dia miliki sebagai seorang wanita dari desa pinggiran yang hanya tamat sekolah dasar melihat salah satu anaknya berhasil menjadi wisuda? Air mata haru dan bangga yang keluar dari matanya –membuat riasan yang dibuat oleh menantunya sejak jam lima subuh luntur- sudah cukup untuk menjadi jawabannya.

Bertemu Caplang

Setelah satu tahun lebih akhirnya punya kesempatan untuk menuliskan pertemuan kembali dengan Caplang. Sebenarnya sudah berjanji ke diri sendiri untuk langsung menulis sehari setelah pertemuan tapi karena cuma manusia biasa, akhirnya lupa sampai setahun lebih.

Pertemuannya terjadi bulan Juli 2017 yang lalu dan itupun tanpa sengaja. Sebelum bercerita tentang pertemuannya, lebih baik kuceritakan dulu siapa itu Caplang. Ku kenal Caplang saat pembentukan kumpulan blogger di Tangerang bernama Komunitas Blogger Benteng Cisadane. Dia yang sedari awal terus mengawal pembentukan komunitas ini sampai akhirnya terbentuk dan kemudian secara aklamasi dia diangkat jadi ketua atau kepala suku menurut istilah di KBBC. Lingkaran pertemanannya dengan para blogger seantero Indonesia membantu mengangkat nama KBBC di ranah blog nasional. Karena bukan mau menulis soal sejarah KBBC, ku akhiri cerita soal komunitas yang sudah mati itu disini.

Caplang punya pembawaan bicara yang halus dengan suara yang juga pelan, seperti putri Solo tapi versi pria. Secara personal, kuanggap dia sebagai salah satu panutan karena konsistensinya selama menjabat menjadi ketua selama dua tahun pertama. Hal yang tidak bisa dicontoh oleh dua ketua selanjutnya dengan berbagai alasan yakni aku dan Andi Sakab.

Juli 2017 kemarin secara kebetulan aku mendapat penugasan ke Berita Satu Plaza di kawasan Kuningan, tempatnya bekerja dan bertemu di parkiran. Sapaan singkat dilanjutkan dengan janji untuk bertemu di kantin kantor saat jam makan siang.

[semua+Ngumpul.jpg]
Caplang berkaos hijau, duduk paling kiri. Kopdar KBBC tahun 2008 di Taman Kota Tangerang.

Bagaimana rasanya kembali bertemu Caplang setelah sekian lama berpisah? Tidak terlalu berkesan, tidak seperti yang kubayangkan atau kuharapkan. Masalahnya karena setelah tidak berkomunikasi sekian lama, ada dinding yang gagal kami robohkan untuk bisa mengobrol secara enak. Bolak-balik aku dan dia menatap layar telepon genggam masing-masing walau mungkin tidak ada notifikasi yang masuk. Obrolan benar-benar terasa seperti basa-basi. Sebenarnya sejak 2007 kami biasa mengobrol baik melalui Yahoo Messenger maupun langsung ketika bertemu. Walaupun ada jarak karena perbedaan usia, tapi waktu itu masih bisa saling melontarkan ledekan.

Bukan salahku atau salah dia, tapi yang kurasakan mungkin murni karena terlalu banyak pertanyaan dan ekspektasi sehingga ada bottle neck saat mau disampaikan sementara hanya sedikit waktu tersedia. Aku dikejar kerjaan, dia dikejar jam masuk kantor. Entah apa yang dia rasakan.

Ada satu keresahan yang ingin kusampaikan sebenarnya kepadanya tapi urung terlaksana. Perasaan berdosa padanya dan beberapa blogger senior yang dulu masuk ke KBBC. Aku ingin meminta maaf kepada Caplang dan blogger seperti Kang Kombor, Anggara, Ari Juliano, Hanna, Anton dan lainnya karena membuang waktu mereka untuk mengurusi komunitas regional yang membatasi gerak mereka. Kapasitas mereka seperti terisolasi karena KBBC yang tidak sanggup menjadi media bagi mereka untuk menampilkan kualitasnya. Setelah tidak aktif di KBBC terbukti mereka semakin berkibar.

Di akhir pertemuan kami berfoto bersama sebagai bukti pertemuan. Pertemuan yang kemudian memunculkan keresahan-keresahan baru soal masa lalu yang kembali mengambang.

Yayi Zulfasari : Untuk Perempuan Yang Sudah Memberikan Semuanya.

bunda-merenungLelaki bodoh dipinggir sungai Cisadane melongo menatap perempuan yang dikasihinya membuang muka, menghindari tatapannya. Matanya menatap aliran air sungai yang tenang, tapi tak mampu untuk membantu menentramkan hati sang perempuan.

Pundaknya naik turun mencoba mengatur nafas untuk mengendalikan amarah. Tapi hatinya kadung muntab. Muntab kepada lelaki yang kini hanya duduk melongo seolah tak memiliki salah apa-apa. Tak melakukan apa-apa.

Sang lelaki sendiri mahfum, dirinyalah yang jadi penyebab amarah. Sang perempuan hanya meminta waktu dan perhatian, yang tak bisa didapatnya di rumah. Dan dia menjanjikan kedua hal itu saat segala upayanya berhasil meyakinkan sang perempuan untuk mau mendampinginya. Bahkan sang lelaki sesumbar, dia punya banyak waktu untuk diberikan kepada perempuannya itu. Dan untuk kesekian kali, janji itu gagal.

Kembali sang lelaki mengingat bagaimana semua puji-pujian, semua analogi percintaan,  semua panggilan sayang dan semua janji mimpi-mimpi di masa depan sudah tandas diberikannya, kepada sang perempuan pujaan hatinya. Kini saat usahanya terbayar, nilai berjuang mungkin terasa berkurang. Yang mana adalah kesalahan paling bodoh yang bisa dilakukan lelaki yang ingin menjalin hubungan jangka panjang, sesuai janjinya bertahun silam. Yang membuat perhatiannya berkurang.

Dan kemudian air mata jatuh dari sudut mata sang perempuan. Mata yang dulu membuat dirinya jatuh hati saat pertama bertemu.

“Mata sejuk yang mengusir kering gersang,” ucap sang lelaki dulu.

“Kamu pelangi yang memberi warna pada hidup abu-abuku,” tegas sang lelaki dulu.

Dan kemudian masa berlalu. Air mata berganti menjadi tawa untuk kemudian kembali berganti air mata dan kembali lagi menjadi tawa. Sampai akhirnya keduanya memutuskan untuk menikah.

Tujuh tahun kemudian di suatu malam. Air mata kembali jatuh dari mata sang perempuan. Matanya memandang wajah anaknya yang lelaki. Anak tampan buah pernikahannya dengan sang lelaki. Dibelakangnya, sang lelaki merutuki setiap kesalahan dan kealpaan yang dibuatnya. Kesalahan dan kealpaan yang sama, yang membuatnya menjadi semanusianya manusia, yang terus alpa.

Tapi sang lelaki kembali mahfum, dirinya yang salah. Memang dirinya yang salah karena tak lagi bersikap saat dahulu sang perempuan belum menyatakan bersedia untuk mendampinginya. Dan kini dia mengingatkannya dengan air matanya.

Untuk perempuan yang sudah memberikan semuanya, terima kasih sudah menerima apa-apa yang tidak aku punyai dan terus mengajari apa-apa yang belum aku pahami.

 

Komoditi Mewah

“Bun, ayah pengen deh punya waktu 2-3 jam setiap malam menjelang tidur untuk sendiri duduk didepan layar, mengetik sesuatu. Yah setelah kamu sama Alif udah pada tidur. Supaya keinginan menulis yang selalu muncul di kepala saat naik motor atau angkot dari kantor ke rumah bisa tertuang ke bentuk tulisan. Karena dikantor susah untuk  bisa menulis tanpa gangguan. Suasana malam yang sepi adalah suasana paling enak buat menulis, ditemani kopi. Suasana yang mendukung buat menulis buat ayah udah jadi komoditi mewah, susah diraih. Gimana menurut bunda?”.

“Helloo…..tiap malem jam setengah sepuluh aja kamu udah tidur duluan ninggalin aku sama Alif”.

“Iya sih”. #nyengirkuda

Obrolan imajiner, yah setidaknya menggambarkan soal dilema antara meluangkan waktu buat menulis dan badan yang tak lagi mampu menahan kantuk.

Apakah Nilai Pembunuhan Akan Berbalik Menjadi Mulia Jika Ditamengi Alasan Hukum Dan Keadilan?

*Tulisan repost dengan beberapa perubahan, dari blog satunya lagi yang bakal ditutup.

stock-photo-85777151-working-at-the-crime-scene

Pagi itu ditahun 2008, aku masih belum beristri waktu itu. Tapi fakta aku belum beristri tentu saja tak penting. Yang penting adalah sosok didepanku, posisinya agak disamping kiriku, menghadapi langsung mukaku dan muka kawan kuliahku, duduk sambil tersenyum riang meski cerita yang baru saja keluar deras dari mulutnya tidak cocok dibarengi dengan senyuman riang. Cerita pembunuhan dan pemerkosaan dengan dirinya sendiri menjadi pelaku. Aku sedang berhadapan dengan seorang pembunuh, yang sedang tersenyum.

Dan disamping kiri dan kanannya berjejer membentuk setengah lingkaran, duduk bersila 10 orang temannya dengan status tak jauh beda. Mungkin bukan tepat 10 jumlah kawannya, aku tak ingat betul. Meski sempat berkenalan satu persatu, aku juga sudah tak ingat satupun nama kriminil yang kesemuanya baru akil baligh ini.

Aku tulis cerita ini dengan sisa-sisa ingatan yang masih ada, terpantik gencarnya berita pemerkosaan dan pembunuhan yang kutonton di saluran berita saban pagi. Juga lewat media internet yang rakus mengupas berita macam begini. Salah satu portal berita internet sudah 3 hari melulu mengabarkan kasus karyawati pabrik yang dibunuh dan diperkosa di mes karyawan lewat belasan artikelnya. Padahal isi beritanya cuma secuil, mungkin mengejar pageviews makanya meski hanya ada dua baris info tambahan, artikel baru langsung dibikin dan dimuat dikolom tajuk utama. Masyarakat juga sepertinya gemar menelan berita kriminal sadis semacam ini.

Kuberitahu kenapa dipagi tahun 2008 itu aku berjumpa dengan belasan pembunuh dan pemerkosa. Aku bersama kawan kuliahku memang sedang berkunjung ke Lapas Anak Tangerang. Demi tugas kuliah sosial yang terlalu serius kami kerjakan. Untuk ukuranku memang kupikir terlalu serius. Kelompokku bersikeras ingin berkunjung dan mengobrol dengan para penghuni penjara anak yang punya pemandangan kubah masjid terbesar se Asia Tenggara yakni Masjid Al Azhom sebagai latar belakang ini. Kelompok lain berkunjung ke tempat pelacuran di bilangan Jakarta dan menyewa pelacur untuk diwawancarai, entah apakah ujungnya nanti sekedar wawancara atau ada agenda yang lain. Tak baik aku berburuk sangka, dosa kata ajaran agama.

Lamat-lamat ku ingat cerita yang tak lama baru deras keluar dari mulutnya. Dia masuk ke lapas anak karena memperkosa dan membunuh seorang perempuan. Niat awalnya memperkosa, tapi rasa takut korban akan melaporkan perbuatannya membuat dia kalap. Diambilnya batu besar dari tanah, dihantamkannya ke muka sang perempuan. Darah memercik, nyawa terlepas. Dan senyumnya masih mengembang, meski dia tahu kasus pemerkosaan dan pembunuhan adalah kasus yang paling dibenci oleh para sipir disini.

Kuberitahu lagi, 20 menit yang lalu saat pertama kali kulangkahkan kaki memasuki komplek tahanan ini dan disambut kubah masjid sebagai latar bangunan, aku merasa lega karena wajah penjara yang kulihat untuk pertama kali ternyata tidak seseram yang kudengar dan kuperkirakan. Saat baru melangkah, kudengar suara gelak tawa dan beberapa bocah usia belasan berlarian. Semua tampak begitu hidup. Kuamati beberapa anak sedang berkegiatan. Ada yang mencabuti rumput ditaman yang tertata rapi, ada yang sedang sibuk memelototi mesin genset disebuah bengkel. Adapula yang melukis. Tak tampak seperti penjara. Malah kurasai seperti sedang ada di panti asuhan. Malah kusangka sebuah pesantren, jika saja para sipir memakai sorban, sarung dan berjidat hitam. Aku senang dengan kondisi itu.

Tapi usai mendengar cerita dari mulutnya, sudah tak elok kupikir senyumnya itu. Aku pembenci kekerasan, dan mendapati seseorang yang sudah melakukan perbuatan biadab macam itu masih bisa tersenyum riang membuatku bingung. Kupikir sikap normal yang harus dia tujukan sebagai pendosa adalah menyesal. Tak perlu menangis, meski sebagai lelaki dia kurang patut jika menangis. Tak juga harus matanya berkaca-kaca. Cukup dengan tidak tersenyum saja.

Bahkan kebingunganku membuat daftar pertanyaan yang sudah kubuat, tak jadi kutanyakan. Tak kutanyakan kehidupannya sebelum membunuh, tak kutanyakan apa yang ada dalam pikirannya saat membunuh. Kengerian ceritanya membuatku enggan tahu lebih jauh.

Tapi setelah kupikir lama saat kawanku menggantikanku mengajukan pertanyaan, kupikir senyuman diwajah mereka merupakan sebuah hasil positif. Sebuah kesuksesan metode yang dilakukan para sipir untuk para penghuni penjara. Lapas anak memang seharusnya jauh dari kata seram. Yang masuk kesana bukan disuruh untuk terus-terusan menyesali perbuatan dan mengutuki diri sepanjang masa hukuman. Dari kepala sipir kuketahui belakangan kalau lapas memang bertujuan untuk menghilangkan rasa penyesalan dan menumbuhkan kesadaran kalau perbuatan mereka bukan akhir kehidupan. Bagi para pendosa muda ini, kesempatan kedua masih ada dan ini yang ditegaskan oleh lapas melalui metode yang mereka pakai.

Tapi jujur sampai saat ini aku masih juga bingung harus mengambil sikap apa. Aku geram dengan para pelaku ini, dan kalau sudah terbawa emosiku, kusetujui usulan untuk menghukum mati atau mengkebiri mereka seperti berita yang sedang bergulir saat ini.

Tapi tidak dipungkiri kalau rupa dan bentuk mereka masih manusia, hati dan pikirannya yang sempat menjadi setan keparat dan kini setelah kembali ke bentuk manusia, apa iya hak hidup mereka otomatis habis?

Mereka memang pendosa berat karena sudah mengambil kodrat tuhan sebagai pencabut nyawa. Tapi akan tidak jauh berbeda jika atas nama hukum, kita juga melakukan hal yang sama. Atau nilai pembunuhan akan berbalik menjadi mulia jika ditamengi alasan hukum dan keadilan?