*Tulisan repost dengan beberapa perubahan, dari blog satunya lagi yang bakal ditutup.

Pagi itu ditahun 2008, aku masih belum beristri waktu itu. Tapi fakta aku belum beristri tentu saja tak penting. Yang penting adalah sosok didepanku, posisinya agak disamping kiriku, menghadapi langsung mukaku dan muka kawan kuliahku, duduk sambil tersenyum riang meski cerita yang baru saja keluar deras dari mulutnya tidak cocok dibarengi dengan senyuman riang. Cerita pembunuhan dan pemerkosaan dengan dirinya sendiri menjadi pelaku. Aku sedang berhadapan dengan seorang pembunuh, yang sedang tersenyum.
Dan disamping kiri dan kanannya berjejer membentuk setengah lingkaran, duduk bersila 10 orang temannya dengan status tak jauh beda. Mungkin bukan tepat 10 jumlah kawannya, aku tak ingat betul. Meski sempat berkenalan satu persatu, aku juga sudah tak ingat satupun nama kriminil yang kesemuanya baru akil baligh ini.
Aku tulis cerita ini dengan sisa-sisa ingatan yang masih ada, terpantik gencarnya berita pemerkosaan dan pembunuhan yang kutonton di saluran berita saban pagi. Juga lewat media internet yang rakus mengupas berita macam begini. Salah satu portal berita internet sudah 3 hari melulu mengabarkan kasus karyawati pabrik yang dibunuh dan diperkosa di mes karyawan lewat belasan artikelnya. Padahal isi beritanya cuma secuil, mungkin mengejar pageviews makanya meski hanya ada dua baris info tambahan, artikel baru langsung dibikin dan dimuat dikolom tajuk utama. Masyarakat juga sepertinya gemar menelan berita kriminal sadis semacam ini.
Kuberitahu kenapa dipagi tahun 2008 itu aku berjumpa dengan belasan pembunuh dan pemerkosa. Aku bersama kawan kuliahku memang sedang berkunjung ke Lapas Anak Tangerang. Demi tugas kuliah sosial yang terlalu serius kami kerjakan. Untuk ukuranku memang kupikir terlalu serius. Kelompokku bersikeras ingin berkunjung dan mengobrol dengan para penghuni penjara anak yang punya pemandangan kubah masjid terbesar se Asia Tenggara yakni Masjid Al Azhom sebagai latar belakang ini. Kelompok lain berkunjung ke tempat pelacuran di bilangan Jakarta dan menyewa pelacur untuk diwawancarai, entah apakah ujungnya nanti sekedar wawancara atau ada agenda yang lain. Tak baik aku berburuk sangka, dosa kata ajaran agama.
Lamat-lamat ku ingat cerita yang tak lama baru deras keluar dari mulutnya. Dia masuk ke lapas anak karena memperkosa dan membunuh seorang perempuan. Niat awalnya memperkosa, tapi rasa takut korban akan melaporkan perbuatannya membuat dia kalap. Diambilnya batu besar dari tanah, dihantamkannya ke muka sang perempuan. Darah memercik, nyawa terlepas. Dan senyumnya masih mengembang, meski dia tahu kasus pemerkosaan dan pembunuhan adalah kasus yang paling dibenci oleh para sipir disini.
Kuberitahu lagi, 20 menit yang lalu saat pertama kali kulangkahkan kaki memasuki komplek tahanan ini dan disambut kubah masjid sebagai latar bangunan, aku merasa lega karena wajah penjara yang kulihat untuk pertama kali ternyata tidak seseram yang kudengar dan kuperkirakan. Saat baru melangkah, kudengar suara gelak tawa dan beberapa bocah usia belasan berlarian. Semua tampak begitu hidup. Kuamati beberapa anak sedang berkegiatan. Ada yang mencabuti rumput ditaman yang tertata rapi, ada yang sedang sibuk memelototi mesin genset disebuah bengkel. Adapula yang melukis. Tak tampak seperti penjara. Malah kurasai seperti sedang ada di panti asuhan. Malah kusangka sebuah pesantren, jika saja para sipir memakai sorban, sarung dan berjidat hitam. Aku senang dengan kondisi itu.
Tapi usai mendengar cerita dari mulutnya, sudah tak elok kupikir senyumnya itu. Aku pembenci kekerasan, dan mendapati seseorang yang sudah melakukan perbuatan biadab macam itu masih bisa tersenyum riang membuatku bingung. Kupikir sikap normal yang harus dia tujukan sebagai pendosa adalah menyesal. Tak perlu menangis, meski sebagai lelaki dia kurang patut jika menangis. Tak juga harus matanya berkaca-kaca. Cukup dengan tidak tersenyum saja.
Bahkan kebingunganku membuat daftar pertanyaan yang sudah kubuat, tak jadi kutanyakan. Tak kutanyakan kehidupannya sebelum membunuh, tak kutanyakan apa yang ada dalam pikirannya saat membunuh. Kengerian ceritanya membuatku enggan tahu lebih jauh.
Tapi setelah kupikir lama saat kawanku menggantikanku mengajukan pertanyaan, kupikir senyuman diwajah mereka merupakan sebuah hasil positif. Sebuah kesuksesan metode yang dilakukan para sipir untuk para penghuni penjara. Lapas anak memang seharusnya jauh dari kata seram. Yang masuk kesana bukan disuruh untuk terus-terusan menyesali perbuatan dan mengutuki diri sepanjang masa hukuman. Dari kepala sipir kuketahui belakangan kalau lapas memang bertujuan untuk menghilangkan rasa penyesalan dan menumbuhkan kesadaran kalau perbuatan mereka bukan akhir kehidupan. Bagi para pendosa muda ini, kesempatan kedua masih ada dan ini yang ditegaskan oleh lapas melalui metode yang mereka pakai.
Tapi jujur sampai saat ini aku masih juga bingung harus mengambil sikap apa. Aku geram dengan para pelaku ini, dan kalau sudah terbawa emosiku, kusetujui usulan untuk menghukum mati atau mengkebiri mereka seperti berita yang sedang bergulir saat ini.
Tapi tidak dipungkiri kalau rupa dan bentuk mereka masih manusia, hati dan pikirannya yang sempat menjadi setan keparat dan kini setelah kembali ke bentuk manusia, apa iya hak hidup mereka otomatis habis?
Mereka memang pendosa berat karena sudah mengambil kodrat tuhan sebagai pencabut nyawa. Tapi akan tidak jauh berbeda jika atas nama hukum, kita juga melakukan hal yang sama. Atau nilai pembunuhan akan berbalik menjadi mulia jika ditamengi alasan hukum dan keadilan?